Friday, September 20, 2019

Aku & Trauma

Trauma itu menyadarkanku, "kau tak lebih dari sekedar menjaga jodoh orang"


Aku tahu ini terdengar lucu, tetapi inilah yang kiranya bisa ku bagi dengan kalian. Tulisan ini berisi tentang penyebab kenapa aku harus berubah menjadi seseorang yg (kebanyakan temenku bilang sih) dingin, aneh, susah ditebak, dan misterius, serta agak agak gimana gitu sama makhluk yang bernama perempuan. Tulisan ini berjudul “Aku & Trauma”, yang mana diambil dari kisah/pengalaman pribadi semasa kuliah (yah walaupun sekarang masih kuliah, masih ngerjain skripsi dan sampai sekarang belum selesai :’) ) *pukpuk diri sendiri.

Oiya, di dalam tulisan ini, nama dan tempat dari pihak-pihak yang terlibat disamarkan agar terhindar dari hal-hal yg tidak diinginkan (biar cuman dianggap sebagai cerita, yah semacam cerita pengantar tidur gitu lah, dan cuman temen kampusku aja yang tahu) *semoga aja mereka ga tahu :v

Aku kuliah di salah satu kampus di Malang. Suatu kebanggaan tersendiri bisa kuliah di kampus ini. Selain merupakan kampus ternama, tempatnya dingin karena dikelilingi pegunungan, kampus ini merupakan keinginan kecilku semasa SMA. Aku diterima di kampus ini tahun 2014, di tahun itu pula aku menjadi menjadi mahasiswa baru, dan kisah cintaku pun dimulai. *3.. 2.. 1.. action.
*****

Semasa jadi mahasiswa baru, aku adalah anak yang ceria, humoris, dan sering godain cewek yang kutemui, entah itu ketemu langsung ataupun via group chat. Di tahun pertama jadi mahasiswa ini, tepatnya pada masa orientasi mahasiswa baru a.k.a ospek, aku jatuh cinta kepada seorang cewek, sebut saja si A, karena dia jomblo, cantik, manis, dan imut, serta reaksinya juga bagus.

ya maklum lah ya, karena semua cewek itu cantik, kecuali sudah punya pasangan. Ini hukumnya para cowok, (tepatnya cowok jomblo) jadi bagi cewek yang udah punya pasangan, kalian udah ga cantik lagi, tapi kalo udah putus cantiknya berdobel-dobel. Itulah sebabnya obrolan tentang janda memang selalu menarik 
*eh gimana?

Kita deket lewat chat, karena aku sering melempar gombalan-gombalan receh, seperti: “aku baru tahu kalo bidadari itu beneran ada, buktinya ada 1 nih di depanku (sambil nunjuk si A). Selain itu, aku & si A berada pada pleton yg sama. Pleton adalah sebutan untuk kelompok mahasiswa baru yang sedang menjalani masa ospek di tingkat fakultas (kami sebut PKKMF – Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Fakultas), biasanya dibentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari beberapa orang, tujuannya untuk saling mengenal dan belajar kerja sama. Selain itu adapula kelompok ospek tingkat universitas (PKKMU – Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Universitas), namanya cluster, dan ospek inilah yang biasa disorot oleh media, tentang betapa meriah, megah, elegan, serta seringkali ada kejutan dari panitia-panitia ospek yang tidak bisa dibayangkan (tahun itu, kejutannya adalah ada panitia yang terjun dari atas gedung sambil membawa bendera merah putih, dan tentu saja mendarat dengan selamat serta tepuk tangan dari para maba; setelah itu tahun-tahun berikutnya rame dengan paper mob). Namun kisahku & si A harus kandas lantaran kita mulai berjauhan karena kita tidak berada di kelas yang sama (semester pertama kuliah, kelas dipilihkan oleh fakultas, semester berikutnya milih sendiri; sering rebutan kelas jam 9 pagi dan bagi yang input kelasnya saat injury time, selamat anda dapat kelas sisa, yap kelas jam 7 pagi saat yg lain masih ashik bermesraan dengan kasur sementara kamu harus ke kampus sambil menahan kantuk dan tentu saja dengan kondisi otak yang masih membeku) dan si A mulai deket dengan temen sekelasnya. Yah, mungkin inilah yang disebut “belum nembak tapi udah sakit duluan”. *kasian kasian kasian

Semester dua, ada seorang cewek yang mencoba mendekatiku, sebut saja si B. Kita deket karena sering membahas soal tugas kuliah, dan kebetulan si B ini temen sekelas. Kita sering ketemu di gazebo, sebutan untuk tempat nongkrong mahasiswa sembari menikmati wifi gratis dari kampus. Namun disatu sisi, aku tak begitu menyukainya. Kenapa? Karena dia tak berhijab. Ini murni dari pemikiran seseorang yang bodoh dalam hal percintaan – ya aku ini -, seorang cewek kalau tidak berhijab, ia tidak menjaga kecantikannya (cuman aku aja apa gimana, kalo ngeliat cewek berhijab itu cantiknya nambah :D ); bagaimana mungkin kamu menyukai seseorang yang mengumbar kecantikan dan kemolekan tubuhnya, bukan malah menjaganya. Akhirnya, Si B ini cuman aku anggap sebagai temen kelas, ga lebih dari itu; walaupun sering berkorban demi dia, sering begadang demi ngerjain tugas bareng via chat/telpon, sering membuang waktu cuman buat nemenin dia di kampus, dan hal bodoh lainnya.

Semester Tiga, aku mulai aktif berorganisasi. Di semester ini, aku mulai sadar bahwa berorganisasi itu perlu. Alasannya banyak, bisa untuk nambah temen (terutama temen antarfakultas), menemukan passion (hobi, minat & bakat), belajar manajemen organisasi (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan), belajar manajemen waktu, belajar mencari link (bisnis & sponsorship), dan yang lebih penting “keluar dari zona nyaman” (biar ga dikira mahasiswa kupu-kupu, yang taunya cuman kuliah doang; kampus tak sesempit itu hey). Disaat aktif berorganisasi itulah, aku mengenal seorang cewek, sebut saja si C, yang mana masuk kriteria cewek yang aku idamkan pada saat itu: berhijab, cantik, manis, aktif, dan cerdas. Aku dan si C ini ketemu dalam satu circle, yaitu di UKM yang sama (UKM: Unit Kegiatan Mahasiswa; wadah untuk mahasiswa yang ingin menyalurkan bakti/pengabdiannya pada kampus dalam bentuk sebuah organisasi). Aku dan si C sering berada pada proker (program kerja) yang sama, setiap hari bertatap muka, lama kelamaan deket dan akhirnya aku jatuh cinta dengan dia. Cowok sering melakukan hal bodoh ketika jatuh cinta, sama halnya denganku. Aku sering melakukan hal bodoh hanya untuk mendapat perhatiannya, sering khawatir kalau sedang jauh darinya, bahkan sering cemburu kalau dia deket dengan cowok lain. Pernah waktu itu dia meminjam laptopku buat ngerjain tugas kuliahnya dalam kurun waktu beberapa minggu, aku pun tak masalah meminjamkannya. Namun naas, laptop yang aku pinjamkan itu dicuri orang pada saat dia tidak berada di UKM (jadi dia udah kayak penjaga UKM gitu, ngapa-ngapain di UKM; makan minum di UKM, tidur di UKM, mandi di UKM, ngerjain tugas di UKM, gabut di UKM, bahkan rasan-rasan alias ngeghibah juga di UKM). Reaksiku gimana? Kuikhlaskan saja, karena pada waktu itu aku beranggapan bahwa kita ini sama-sama orang tidak mampu, laptop aja minjem, dan kalau kuminta ganti rugi juga belum tentu dia sanggup. Dia menangis dihadapanku, sementara aku diam saja (kebalik weh, itu laptopku yg ilang harusnya aku yg nangis T-T). Reaksi keluargaku gimana? Aku dimarahi habis habisan. Laptop yang seharusnya digunakan selama 4 tahun kuliah, belum genap 1 tahun sudah hilang. Itu adalah tindakan rela berkorban yang bodoh demi orang yang disuka. Namun akhirnya aku sadar, semua yang aku lakukan sia-sia. Disaat kami tidak berada dalam proker yang sama, dia pacaran dengan cowok lain, lebih tepatnya senior. Dan di akhir kepengurusan, aku memutuskan untuk hengkang saja. Ibaratnya, kamu memperjuangkan orang yang kamu suka, eh dia malah lebih memilih orang lain, sakit ga tuh? *deketnya sama aku, jadiannya sama dia; bangke emang :')

Semester empat, masa-masa move on. Aku tak pernah menghubunginya lagi, tapi masih sering stalking. Masih ga percaya aja dia lebih milih orang lain, dan setiap kali kulihat foto dia bersama pacarnya, aku sakit hati (semacam nyesek gitu). Lama-kelamaan bisa hidup tanpa dia, tanpa perhatiannya, tanpa suaranya, dan mulai bisa menerima kenyataan bahwa aku memang bukan siapa-siapa disini, tidak terlalu dipandang karena berasal dari keluarga kurang mampu (kuliah aja karena beasiswa, karena ngemis-ngemis kepada pemerintah; kalo ga kuliah nguli aja dah). Mulai saat ini fokus pada kuliah, ngerjain tugas tepat waktu, dan kata temen-temen sih “jadi mahasiswa rajin”, contohnya: dapet broadcast/jarkom kumpul jam 8, aku jam setengah 8 udah disana, dan tentu saja disana sepi, jam 9 baru pada dateng (temen-temen bangs*t emang; dan seterusnya tetep seperti itu). Di masa-masa move on ini, aku ga deket sama cewek manapun, cuman berinteraksi secukupnya, dan bertahan sampai semester 6. *fokus menjomblo dulu :D

Semester 7, masa kkn/magang. Masa ini bisa dibilang masa yang sibuk, karena aku menjadi pengurus di salah satu organisasi tingkat fakultas, kita menyebutnya LOF (Lembaga Otonomi Fakultas), serta pada semester ini mahasiswa angkatanku melaksanakan kkn/magang sesuai kurikulum yang harus kami ikuti. Selain itu, magang juga merupakan ajang untuk mencicipi bagaimana pekerjaan kita nanti. Di semester ini, aku deket lagi dengan seorang cewek, sebut saja si D, karena dia nyambung kalau kuajak ngobrol (di masa ini yg nyambung waktu kuajak ngobrol cuman beberapa orang aja, hmm kayaknya aku mulai aneh dilingkunganku sendiri). Dan secara kebetulan, pada waktu itu sedang gencar-gencarnya kampanye ITP (Indonesia Tanpa Pacaran) dimana ada sekelompok komunitas yang mencoba menyadarkan generasi saat ini tentang betapa pentingnya keberadaan perempuan dan bahayanya pacaran: hamil diluar nikah, aborsi, pembunuhan, kriminalitas, bullying, pernikahan dini, pernikahan paksa, dan yang paling parah merusak nasab karena anak hasil zina tidak bisa dinasabkan pada ayah biologisnya; kalaupun anak ini nikah nantinya walinya harus wali hakim. Aku pun terpengaruh dengan kampanye itu, dan lebih memilih nikah daripada pacaran, namun tanpa kusadari aku sebenarnya belum siap untuk nikah. Akupun yg deket sama si D, menawarinya dengan ucapan:

“Aku ga bakal ngajak kamu pacaran,
karena pacaran itu dosa dan cenderung merugikan cewek. 
Jadi, kalau nikah sama aku gimana? 
Kalo mau kirim foto & CV kamu ya.
Bakal aku tunjukkin ke emak sama bapakku”.

Bentar, kalo dipikir-pikir aku bar-bar juga ya bisa bilang gitu ke cewek (dasar, aku itu pe’ak emang :’v). Tanggapan si D gimana? Tentu saja dia mau mengirim foto dan CVnya. Tak beberapa lama setelah itu dia kupertemukan dengan kedua orangtuaku, tepat di hari kakakku dilamar, yap hari minggu (hari minggu orang-orang kantor pada libur, dan hari minggu adalah hari mencuci baju :D). Kenapa kupertemukan mereka? Supaya si D ini tahu seperti apa sih kedua orangtuaku, kan ada pepatah yang mengatakan buah jatuh tak jauh dari pohonnya, artinya sifat dan sikap seorang anak tidak jauh berbeda dengan orangtuanya. Selain itu, juga melihat kondisi rumah, cerminan kalo udah nikah nanti tidak jauh berbeda dengan kondisi rumah yang saat itu dikunjungi. Orangtuaku menerima dia dengan senang hati, mungkin pikir mereka: “akhirnya anakku bawa pacarnya, padahal selama ini dirumah mulu, jomblo mulu, tiap malam minggu disuruh keluar malah tidur dia”; namun tanpa kusadari hari itu adalah hari pertama mereka bertemu sekaligus hari terakhir. Seminggu setelah itu, si D menghilang tanpa kabar. Aku mencoba menghubunginya, namun Line dan WAku diblock tanpa alasan yang jelas. Sebulan pun berlalu, usut punya usut, ternyata dia baru aja pacaran dengan cowok lain, dan saat itu juga aku patah hati dan sedih sesedih-sedihnya. Makan tak nafsu, sepanjang hari galau mulu, dengerin lagu-lagu sedih, merasa tak ada artinya hidup, selalu nyesek kalo inget dia; semua itu kurasakan jadi satu. Dan itulah awal mula aku trauma terhadap seorang perempuan. *ini kenapa cewek ga ada yang bener satupun sih? 

“Dan terjadi lagi, kisah lama yang terulang kembali~
Kau terluka lagi, dari cinta rumit yang kau jalani~“

Semester 8 sampai sekarang, masa-masa skripshit. Move on, setidaknya butuh waktu 8 bulan hingga 1 tahun untuk pulih jadi aku yang biasanya (siapa bilang cowok cepet move on? mereka bisa dapet gebetan baru dalam waktu singkat itu ya buat pelampiasan aja; buat ngelupain si dia. pikiran bisa lupa tapi hati ga bisa; ibarat pepatah dari si ******: lali jenenge nanging eling rasane). Namun selama itu pula, aku berangsur-angsur menjadi pribadi cuek, bodoamat, ga peduli, dan terkesan dingin. Kenapa butuh waktu lama buat move on? Jujur saja, lelaki lebih kuat fisiknya ketimbang wanita, namun perasaannya jauh lebih lemah. Yap, lelaki menjadi emosional (gampang marah, sedih, dan segala macemnya) jika dia diserang perasaannya. Jika seorang lelaki sampai meneteskan air mata demi seorang wanita, berarti lelaki itu memang benar-benar tulus mencintainya; karena pada dasarnya lelaki itu akan dianggap lemah jika mereka menangis. Dan oleh karena itulah, aku mulai memandang cewek sebagai jodoh orang, supaya tidak terlalu berharap kepada mereka, sudah tidak mengumbar gombalan lagi, cenderung diam kalo ketemu cewek, bahkan terkadang menghindar. Sampai kapan trauma ini sekiranya berlangsung? Entahlah akupun tak tahu. *dan akhirnya aku yg sekarang ga suka terlibat/ikut capur urusan orang, lebih suka menyendiri dan sibuk dengan dunianya sendiri; singkatnya bertransformasi menjadi seorang introvert. 

“. . . Baru kini kusadari ternyata selama ini
Yang kusayang, yang kujaga
Ternyata jodohnya orang lain . . .”

1 comment:

  1. Hidup tak sesempit daun kelor,, wanita butuh kepastian apakah anak2nya kelak hidup dengan berkecukupan,, apakah kamu nanti mampu menafkahi anak2mu dan keluargamu.. klo kamu sudah punya pendapatan sendiri mampu menafkahi diri sendiri dan keluarga niscaya semua cewek pasti akan menerimamu.. siapapun cewek itu.

    ReplyDelete